“Maaf.?? Kau regas segenap pucuk pengharapan ku.. kau patahkan!! Kau minta maaf??"
Kalimat itu merupakan pembuka dialog legendaris dari film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck antara Zainuddin dan Hayati. Sungguh, ketika saya mendengarkan kalimat pembuka itu, bulu kuduk saya berdiri. Mungkin karena saking luar biasa pembawaan Herjunot Ali dalam pengucapan kalimat tersebut. Mungkin juga karena perasaan yang ikut terombang-ambing dari menit awal film sampai detik itu, Bahkan, selama dialog itu, saya merinding dengan kalimat-kalimat yang luar biasa mantap dan menohok dari Engku Zainuddin.
Sungguh, memang mengenaskan nasib pemuda dengan panggilan Zainuddin tersebut. Ia ditinggal bapaknya, lantas terlempar kehidupannya di tanah Minangkabau untuk menuntut ilmu. Kemudian, dia di sana mendapatkan kisah cinta suci dengan perempuan sholeh bernama Hayati. Namun, cinta suci tersebut terhalang oleh adat istiadat keras dari ninik mamak Hayati yang mengharuskan suaminya adalah orang asli Minangkabau. Dikarenakan Zainuddin campuran bugis, kisah cinta mereka pun ditentang.
Akan tetapi, pertentangan itu bukan menjadi masalah bagi Zainuddin. Cinta suci harus diperjuangkan. Itu adalah motivasinya. Di sisi lain, Hayati pun juga mencintainya. Cinta ini yang membuat Zainuddin tetap semangat menjalani hidup walaupun beberapa waktu yang lalu mendengar kabar meninggalnya sang Ibunda.
Sayangnya, cinta itu kandas. Walaupun Hayati telah berjanji untuk menunggu Zainuddin berapa pun lamanya untuk datang menjadikan sah kisah cinta mereka berdua, tapi sayang perempuan itu menoleh. Ia menerima keputusan dari tetua keluarga untuk menikahi Aziz, pemuda kaya raya yang lebih memenuhi kriteria. Parahnya, ketika Zainuddin bertanya apakah itu karena cinta atau terpaksa, Hayati dengan kejam membalas dengan surat yang menyayat hati Zainuddin, “Cinta itu bukan terpaksa, namun atas kemauannya sendiri. Cinta kita dilupakan saja. Kau miskin akupun miskin, hidup tidak akan beruntung kalau tidak ada uang.”
Oh, sungguh hancur rasanya menjadi Zainuddin. Hayati, sosok yang telah menjadi harapan barunya untuk menjalani hidup dan melanjutkan perjalanan menuju cita-citanya, ternyata berpaling, dan pergi meninggalkannya dengan laki-laki lain. Maka benar apa yang telah dikatakannya, “Kau regas segenap pucuk harapanku.”
Namun, tahukah teman-teman, apabila kita pandang kisah ini dalam agama Islam, Zainuddin tentu salah apabila menaruh pucuk pengharapannya pada Hayati, yang walaupun ia seorang gadis cantik sholehah dan telah berjanji, ia tetaplah seorang hamba, yang mau bagaimanapun keadaannya tak pantas menjadi harapan hamba lainnya.
Sayyidina Ali berkata bahwa,
"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup. Dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia."
Zainuddin tentunya harus belajar agama lebih dalam bahwa semua harapan harus pada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak pada siapapun.
Karena, sejatinya hidup pun untuk beribadah kepadanya,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya: "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku,"
Posting Komentar