Ilmu Yang Bermanfaat
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai seorang muslim, sungguh tak elok apabila kita tidak mengetahui hadits masyhur di bawah ini,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya : “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Pasalnya, kebanyakan muslim – bahkan seharusnya – sudah dididik dengan hadits ini sejak dini. Tujuannnya, supaya sejak kecil kita sudah mulai rajin belajar. dan seperti kata pepatah, “belajar di waktu kecil, ibarat mengukir di atas batu. Belajar di waktu besar, bagaikan mengukir di atas air.”
Hal ini kurang lebih mirip dengan apa yang dituliskan dalam kitab قرة العين. Di dalam kitab tersebut dijelaskan, wajib bagi orang tua mengajarkan kepada anaknya bahwa Nabi Muhammad lahir di Kota Mekkah, dan dimaqomkan di Kota Madinah. Di dalam kitab itu juga dijelaskan, anak wajib dididik sholat ketika berumur tujuh tahun. Dan diperbolehkan memukul (dengan pukulan yang tidak menyakitkan) apabila anak sulit diperintah untuk sholat.
Rumusan Masalah
Mengapa setiap muslim diwajibkan mencari ilmu?
Ilmu apa saja yang dibutuhkan seorang muslim?
Tujuan
Mengetahui betapa pentingnya mencari ilmu dan benar benar memahaminya.
Mengetahui bagaimana bentuk ilmu yang dibutuhkan seorang muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebuah perkataan hikmah yang perlu diingat betul, salah seorang Ulama’, Al-Habib Muhammad Hasan Al-Atthos berkata,
إذا اتسع علمه اتسعت معرفته, و إذا اتسعت معرفته اتسعت مشهده, وإذا اتسعت مشهده اتسعت شهوده
Artinya : “Apabila luas imu seseorang, maka luas pula ma’rifatnya. Dan apabila luas ma’rifatnya, maka luas pula pandangannya. Dan apabila luas pandangannya, maka luas pula kesaksiannya.”
Akan tetapi, perlu digarisbawahi, bahwa ilmu yang dimaksud di sini tentunya bukanlah ilmu sembarangan. Ilmu yang di maksud di sini adalah ilmu yang bermanfaat. Mah, ilmu yang bermanfaat itu seperti apa?
Di dalam buku Mengaji Ta’jul ‘Arus : Rujukan Ulama Mendidik Jiwa, pada halaman 477 dituliskan, bahwa Ibnu Athaillah berkata, “ilmu yang bermanfaat adalah yang membantu menuju keta’atan, mendatangkan rasa takut kepada Allah, dan menjaga rambu rambunya. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu tentang Allah.”
Karena itulah, di dalam kitab manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani اللجين الداني , dalam salah satu fasl diceritakan, ketika Syaikh Abdul Qodir digoda dengan syaithan yang sedang menjelma menjadi sebuah cahaya, kemudian berkata kepada Syaikh Abdul Qodir,
“Aku adalah tuhanmu, kini aku halalkan apa yang aku apa haramkan padamu.”
Syaikh Abdul Qodir sama sekali tidak terlena. Beliau dengan sangat kokoh menjawab,
“Tidak, sesungguhnya tuhanku tidak akan mengubah apa yang telah ia tetapkan.”
Cerita yang masyhur di kalangan santri itu sangat luar biasa. Pasalnya, dengan godaan yang begitu dahsyat, Syaikh Abdul Qodir dapat bertahan, dan memberikan jawaban yang lebih dahsyat. Beliau sama sekali tidak terlena. Kenapa? Karena ilmu Syaikh Abdul Qodir bermanfaat, ma’rifat. Beliau mengenal Allah dengan baik. Jadi beliau tahu, bahwa Allah tidak akan mengganti apa yang telah haram menjadi halal, karena semua itu sudah ditetapkan di dalam Al-Qur’an.
Tapi kenapa cerita Imam Baseso berbeda? Bukankah dia juga seorang wali, yang memiliki ratusan murid yang bisa sholat dengan terbang. Lantas, kenapa dia mudah digoda dengan Iblis? Mabuk, berzina, kemudian membunuh, dan berakhir dengan memantapkan hatinya pada Iblis.
Di beberapa riwayat, Imam Baseso bukanlah orang alim. Dia memang sempat menjadi wali, namun karena ibadahnya yang luar biasa, walaupun akhir hidupnya dia menjadi syirik. Itu semua karena dia yang kurang ilmu, dan yang lebih penting, Imam Baseso tidak termasuk dalam و إذا اتسعت معرفته اتسعت مشهده. Di dalam cerita, Imam Baseso yang ibadahnya sangat rajin itu malah bernafsu ingin beribadah lebih giat lagi ketika melihat Iblis yang menjelma seseorang yang giat beribadah melebihi Imam Baseso. Ketika Imam Baseso bertanya bagaimana caranya, Iblis menjawab supaya Imam Baseso maksiat. Jadi, ketika tobat, dosa itu akan terus teringat, dan membuat ibadahnya semakin giat. Parahnya, Imam Baseso akhirnya menuruti saran tersebut.
Padahal, perintah Allah itu dilakukan semampunya, dan larangan Allah itu harus dijauhi semuanya.
Seperti dalam Al-Qr’an, surah Al-Hasyr ayat 7,
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Juga ada pada hadits Nabi yang dituliskan dalam kitab Arba’in Nawawi, hadits no.9,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah ‘Abdurrahman bin Shakr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apa saja yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337]
Perbandingan cerita Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani dan Imam Baseso mirip dengan sebuah nadzom dalam kitab Ta’limul Muta’alim,
فإن فقيها واحدا متورعا * اشد على الشيطان من الف عابد
Artinya : “Sesungguhnya satu ahli Fiqh lebih ditakuti Syaithon ketimbang seribu ahli ibadah.”
Nah, Selanjutnya, وإذا اتسعت مشهده اتسعت شهوده. Dan apabila luas pandangannya, maka luas pula kesaksiannya.
Apa maksudnya?
Orang yang luas kesaksiannya adalah orang yang benar benar memahami bahwa semuanya itu adalah kehendak Allah yang sudah ditentukan sejak zaman azali.
Seperti dalam Al-Qur’an, surah Al-Hadid, ayat 22- 23,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ () لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ () الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Contohnya, orang yang benar benar memahami ayat tersebut, maka dia tidak akan putus asa ketika sedang terkena musibah. Dan ia akan bersyukur kepada Allah ketika mendapat nikmat. Karena ia tahu, sejatinya semua sudah ditetapkan, ditakdirkan oleh Allah.
Di dalam buku Mengaji Ta’jul ‘Arus : Rujukan Ulama Mendidik Jiwa, di situ dituliskan pada halaman 508,
Ibnu Atthaillah berkata, “Perumpamaan hamba bersama Allah di dunia ini seperti anak kecil bersama ibunya. Sang ibu takkan membiarkan anaknya terabaikan. Ia akan mengasuhnya dengan baik. Seperti itu pulalah keadaan mukmin bersama Allah. Dialah yang memberikan jaminan sehingga hamba diberi limpahan nikmat sekaligus dilindungi dari berbagai ujian.”
Maka, sungguh tak elok bagi kita yang notabenya hanya seorang hamba malah sering menggerutu, tidak terima ini itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa kita ambil adalah, begitu pentingnya seorang muslim untuk mencari ilmu yang bermanfaat. Dikarenakan, dengan ilmu yang bermanfaat tersebut, seseorang akan lebih mengenal Allah. Dan Allah tetntunya akan lebih menyayangi hamba yang mengenalnya lebih baik ketimbang hamba yang megenal biasa saja.
DAFTAR PUSTAKA
Terjemah Ta’jul ‘Arus, karya Imam Ibnu Atthaillah
Matan Hadits Arbain Nawawi, karya Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarof an-Nawawi
Al-Lujainu ad-Daani, karya Syaikh Ja’far bin Hasan al-Barzanji
Qurotul ‘Ain, karya Syaikh Zainuddin
إرسال تعليق