Dalam kitab Mukhtashor Shohih Bukhori At Tajrid As Shorih, di dalam hadits ketiga, yang menerangkan tentang awal turunnya wahyu. Di situ diterangkan, ketika Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam masih gemetar ketakutan setelah menerima wahyu dari malaikat Jibril yang menampakkan wujud aslinya, sayyidah Khodijah menenangkan beliau dengan menyebut kebaikan-kebaikannya. Salah satu kebaikan itu dituliskan seperti ini :
تعين النوائب الحق
Artinya kurang lebih, 'membantu orang-orang yang terkena musibah benar'.
Lho, musibah yang benar?
Nah, di dalam syarahnya, diterangkan bahwa musibah dibagi menjadi dua macam, yaitu musibah bathil (salah) dan musibah haq (benar).
Musibah bathil (salah) ialah musibah yang terjadi disebabkan kelakuan buruk orang itu sendiri.
Dalam contoh sosialnya, seorang yang kaya raya ikut bermain judi. Kemudian dia kalah, uangnya diraup habis, hutangnya menumpuk, dan semua barang berharganya dirampas. Maka, bisa dikatakan kalau musibah miskin melarat yang menimpanya adalah musibah bathil, karena itu semua disebabkan kesalahannya mengikuti judi, yang jelas-jelas sangat dilarang oleh agama.
Di dalam versi lingkungan alam, bisa kita ambil contoh banjir. Curah air hujan yang deras akan membuat banjir bila saluran air yang ada tidak tersumbat. Nah, saluran air yang tersumbat itu disebabkan kelakuan manusia sendiri yang membuang sampah sembarangan. Ditambah dengan sampah plastik yang berceceran, yang sangat sulit diuraikan, yang menghalangi air masuk ke bumi. Jadi daerah orang-orang seperti ini bila terkena banjir, maka bisa dikatakan sebagai musibah bathil. Karena, itu semua disebabkan kesalahan mereka tidak menjaga kebersihan, atau yang sudah sangat terang benderang diperintahkan oleh agama, bahkan menjadi bagian iman itu tersendiri.
"النظافة من الإيمان"
"Kebersihan sebagian dari iman."
Sedangkan, musibah haq (benar) adalah musibah yang murni karena kecelakaan, maksudnya tidak ada sangkut paut dengan keburukan orang itu sendiri. Karena segala sesuatu itu sudah kehendak Allah.
Bisa diambil contoh dari para nabi dan rasul. Nabi dan Rasul adalah manusia yang paling berat musibah (ujian) nya. Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل فيبتلى الرجل على حسب دينه فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئة
“(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” (HR. At-Tirmidzy, Ibnu Majah, berkata Syeikh Al-Albany: Hasan Shahih).
Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seperti itu. Beliau pernah mengalami masa-masa yang sangat sedih, atau biasa disebut dengan Amul Huzni (tahun kesedihan). Di tahun itu, kedua sosok yang sangat disayang Kanjeng Nabi, yang senantiasa menemani Kanjeng Nabi, dan membantu dakwahnya, meninggal dunia. Dua orang tersebut adalah Sayyidah Khodijah, istri beliau yang telah menemani selama dua puluh delapan tahun dan membantu dakwah dalam segi harta. Lalu, ada juga Paman Abu Thalib yang sudah merawatnya sejak kecil, yang juga ikut membantu dakwah dalam segi memberi perlindungan.
Akan tetapi, di tahun itu juga, Allah Subhanahu wa ta'ala membuatkan peristiwa Isra' Mi'raj untuk Kanjeng Nabi Muhammad ﷺ, sebuah peristiwa luar biasa yang mengantarkan Kanjeng Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dilanjutkan hingga ke langit ke-tujuh, sampai Sidratul Muntaha. Di kejadian Isra' Mi'raj itu, Kanjeng Nabi Muhammad ﷺ bertemu langsung dengan Allah Al-Akbar, sebuah karunia nikmat yang paling besar. Di peristiwa luar biasa yang terjadi hanya satu malam itu Nabi juga mendapatkan tiang agama, Sholat.
Maka, mungkin bisa diambil kesimpulan kalau musibah haq (benar) ada timbal balik kebaikannya.
Apabila diambil dari contoh lingkungan alam, bencana gunung berapi meletus disebabkan oleh pergeseran lempeng bumi yang mendorong keluar lahan vulkanik dari tempurungnya. Manusia tidak ada sangkut pautnya. Musibah itu benar-benar karena kecelakaan yang direncanakan oleh Allah.
Namun, setelah musibah gunung berapi meletus yang mengerikan, yang lahar vulkaniknya meleburkan apapun yang dilewatinya. Namun, setelah itu, tanah-tanah yang ada di sana menjadi lebih subur karena unsur hara tanaman, akhirnya cocok untuk dijadikan lahan pertanian.
Maka, bisa dikatakan pula kalau gunung berapi yang meletus merupakan musibah yang haq (benar). Dan musibah haq ada timbal balik kebaikannya.
Akhir kata, manusia tidak bisa lepas dari keadaan susah ataupun senang, dan tertimpa musibah atau mendapatkan kenikmatan. Namun, musibah ada yang bathil, yang menjadi timbal balik kejelekannya. Musibah ada juga yang haq, yang walaupun mendapat kesusahan, nanti akan mendapat timbal balik kebaikan. Plus, akan ditolong Kanjeng Nabi.
إرسال تعليق